5 Perusahaan yang Membatalkan Investasi Baterai Kendaraan Listrik di Indonesia

Mundurnya LG Energy Solution Ltd (LGES) dari Proyek Titan menambah daftar investor yang menarik diri dari Indonesia, di tengah upaya negara ini untuk menjadi salah satu produsen utama baterai kendaraan listrik (EV) dunia.

Sebelumnya, pada Juni 2024, Indonesia juga ditinggalkan oleh dua investor asal Eropa, yaitu BASF SE dan Eramet SA, dari megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, yang dirancang untuk mendukung ekosistem baterai EV nasional.

Dengan demikian, dalam 10 bulan terakhir, Indonesia telah kehilangan sedikitnya tiga investor di proyek pengembangan baterai EV.

Tak hanya itu, hingga 2025, pemerintah juga belum memberikan pembaruan terkait kelanjutan beberapa proyek baterai EV lainnya, termasuk yang melibatkan investor besar seperti Hon Hai Precision Industry Co (Foxconn) dan Britishvolt di Indonesia.

Berikut adalah beberapa investor yang telah menghentikan komitmennya dalam proyek pengembangan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia:

LGES Keluar dari Proyek Titan

Pada April 2025, LG Energy Solution Ltd (LGES) secara resmi mengumumkan keputusannya untuk mundur dari megaproyek baterai kendaraan listrik (EV) senilai US$7,7 miliar (sekitar Rp129,84 triliun) di Indonesia. Pengumuman tersebut disampaikan pada Jumat (18/4/2025), dengan alasan utama "perubahan kondisi pasar" yang dinilai tidak lagi sejalan dengan prioritas strategis perusahaan asal Korea Selatan tersebut.

Proyek yang dikenal sebagai 'Proyek Titan' ini sebelumnya melibatkan konsorsium Korea Selatan bersama Indonesia Battery Corporation (IBC). "Setelah mempertimbangkan dengan seksama dinamika pasar EV global, kami memutuskan bahwa proyek ini tidak lagi sesuai dengan prioritas strategis kami," ujar juru bicara LGES dalam pernyataan resminya, dikutip Senin (21/4/2025).

Namun, Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani mengklarifikasi bahwa keluarnya LGES dari proyek ini merupakan hasil keputusan terminasi kontrak oleh Pemerintah Indonesia, bukan semata-mata keinginan LGES. Menurut Rosan, proses negosiasi dengan LGES dinilai berlarut-larut, sehingga pemerintah memilih untuk mengakhiri kerja sama.

Surat terminasi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 31 Januari 2025, ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dan dikirimkan kepada CEO LG Chem Ltd dan LGES. Rosan juga menyebutkan bahwa Zhejiang Huayou Cobalt Co. dari Tiongkok akan menggantikan posisi LGES dan berperan lebih aktif sebagai pemimpin konsorsium di Proyek Titan.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa, secara keseluruhan, pembangunan proyek hilirisasi nikel menjadi baterai EV di Indonesia tetap berjalan sesuai peta jalan awal. Perubahan hanya terjadi pada struktur investor dalam proyek bersama (joint venture), tanpa mengubah konsep, infrastruktur, maupun rencana produksi dari megaproyek yang juga dikenal sebagai Indonesia Grand Package tersebut.

BASF & Eramet Hengkang dari Proyek Sonic Bay

Sementara itu, pada pertengahan 2024, dua investor besar asal Eropa, BASF SE dan Eramet SA, resmi menarik diri dari proyek Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara. Proyek nikel hidrometalurgi senilai US$2,6 miliar (sekitar Rp43,74 triliun) ini awalnya dirancang untuk mendukung ekosistem baterai EV di Indonesia.

Sonic Bay adalah proyek pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter nikel dan kobalt berbasis teknologi high pressure acid leach (HPAL) yang berlokasi di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara. Fasilitas ini dirancang untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) berupa mixed hydroxide precipitates (MHP).

Awalnya, proyek ini bertujuan memproses sebagian bijih dari tambang Weda Bay Nickel untuk memproduksi produk antara berupa nikel dan kobalt, dengan target output sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt per tahun, yang terkandung dalam endapan MHP.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa BASF dan Eramet sempat menyampaikan langsung minat investasinya kepada Presiden Joko Widodo untuk membangun ekosistem baterai EV di Maluku Utara. Saat itu, Bahlil menegaskan bahwa proyek ini akan memperhatikan aspek lingkungan dan memanfaatkan energi hijau, sehingga diharapkan dapat mengubah persepsi negatif terkait praktik pertambangan di Indonesia.

Namun, dalam pernyataan resminya, BASF kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda setelah melakukan evaluasi menyeluruh. Tak lama berselang, Eramet juga mengumumkan pengunduran diri dari proyek tersebut.

Dalam wawancara dengan Bloomberg Technoz pada Juli 2024, Eramet Indonesia — anak perusahaan tambang asal Prancis — mengungkapkan bahwa keputusan mundur dari proyek Sonic Bay dipicu oleh kondisi di kawasan tersebut yang sudah terlalu padat dengan proyek-proyek serupa.

Bruno Faour, Direktur Eramet Indonesia saat itu, menjelaskan bahwa keberadaan banyak smelter HPAL di satu lokasi menimbulkan tantangan tersendiri, seperti keterbatasan lahan, ketersediaan air, serta potensi gangguan pasokan bijih nikel. "Jika terlalu banyak smelter HPAL di satu tempat, situasinya menjadi kompleks. Proyek seperti ini membutuhkan banyak air, sementara di Teluk Weda tidak tersedia sumber daya air besar seperti danau," kata Faour.

Ia menambahkan bahwa kondisi tersebut menciptakan ketidakpastian dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan proyek dan ketersediaan sumber daya pendukung, seperti bijih, air, lahan, dan energi.

Sebagai catatan, pemerintah sebelumnya juga menyatakan bahwa masih ada dua smelter HPAL lain yang sedang dibangun di Teluk Weda, Maluku Utara, terlepas dari mundurnya BASF dan Eramet dari proyek Sonic Bay.

Komitmen Foxconn Masih Tidak Jelas

Hingga saat ini, belum ada perkembangan signifikan terkait investasi Hon Hai Precision Industry Co atau Foxconn di Indonesia.

Pada April 2024, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa penundaan investasi Foxconn masih terjadi karena terdapat beberapa hal yang perlu dibahas lebih lanjut antara perusahaan asal Taiwan tersebut dan pemerintah Indonesia sebelum mereka dapat melanjutkan komitmennya untuk berinvestasi.

“Salah satu PR saya terkait Foxconn, masih dalam tahap negosiasi,” ungkap Bahlil di Jakarta, Senin (29/4/2024).

Sebelumnya, pada Januari 2022, Bahlil telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Foxconn, Gogoro Inc, PT Industri Baterai Indonesia (IBC), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). MoU ini mencakup kerjasama investasi dalam pengembangan ekosistem energi baru berkelanjutan, khususnya terkait baterai listrik, kendaraan listrik, dan industri pendukungnya melalui skema Build-Operate-Localize (BOL) di Indonesia.

Dalam MoU tersebut, Foxconn, Gogoro, IBC, dan Indika Energy sepakat untuk mengeksplorasi kerjasama investasi besar di sektor ekosistem kendaraan listrik (EV) Indonesia, dengan estimasi nilai investasi mencapai USD8 miliar (sekitar Rp114 triliun). Proyek ini diproyeksikan akan menghasilkan kapitalisasi pasar lebih dari USD100 miliar pada tahun 2030.

Perkembangan investasi ini sempat terlihat pada September 2022, ketika Indika Energy, melalui anak usahanya PT Mitra Motor Group (MMG), menjalin kemitraan dengan afiliasi Foxconn, Foxteq Singapore Pte. Ltd., untuk mendirikan perusahaan patungan.

Namun, meski langkah awal sudah diambil, komitmen Foxconn untuk melanjutkan investasi tersebut masih terhambat oleh proses negosiasi lebih lanjut.

Perusahaan patungan, PT Foxconn Indika Motor (FIM), akan mengelola bisnis manufaktur kendaraan listrik komersial dan baterai listrik, serta menawarkan layanan konsultasi manajemen untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Kepastian Investasi Britishvolt Masih Tertunda

Pada Oktober 2023, Bahlil Lahadalia—Menteri Investasi/Kepala BKPM saat itu—mengungkapkan bahwa perkembangan rencana investasi Britishvolt di Indonesia masih terhambat, dengan kemajuan yang terbatas karena faktor kondisi global.

Mengutip Reuters pada Maret 2022, Britishvolt, perusahaan rintisan baterai EV, dan VKTR, bagian dari unit otomotif Bakrie & Brothers, menyatakan niat mereka untuk mengembangkan kapasitas pemurnian nikel berkelanjutan di Indonesia dan mempertimbangkan pembangunan pabrik baterai di negara ini.

Kedua perusahaan tersebut berencana membentuk usaha patungan bernama Indovolt BV VKTR untuk memproduksi nikel sulfat, bahan penting dalam pembuatan baterai EV berkinerja tinggi, yang nantinya akan diproduksi menggunakan energi terbarukan, sejalan dengan komitmen mereka terhadap tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

Indovolt juga berencana untuk mengeksplorasi opsi pabrik baterai di negara lain, sementara VKTR sedang mencari mitra untuk membangun pabrik baterai dengan kapasitas 15 gigawatt hour (GWh) di Indonesia.

Share this post

Loading...